Jumat, 14 Desember 2012

Kalam Khobar: Ilmu Ma'ani


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
secara leksikal kata ma’ani berarti maksud atau arti. Para ilmu ahli ma’ani mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
Ilmu ma’ani pertama kali di kembangkan oleh Abd al- Qahir al- Jurzani. Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjijatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Disamping itu, objek kajian ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih bersifat murad (berdiri sendiri) sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi faktor lain). Hal ini sesuai dengan pernyataan Hasan Tamam, bahwa tugas ilmu nahwu hanya mengutak ngatik kalimah dalam suatu jumlah tidak sampai melangkah pada jumlah yang lain.
Kalam al-Arabi adalah menjadi salah satu bahan kajian ilmu ma’ani. Dalam perkembangannya bahwa kalam itu terbagi atas dua bagian yaitu kalam insyai dan kalam khabari
Dalam makalah ini Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai jenis kalam khabari. Dan secara  garis besar kalam khabari yaiatu kalimat yang pembicaranya dapat dikatakan sebagai orang yang benar atau dusta.


B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terdapat di makalah ini adalah:
1.        Apa saja jenis-jenis kalam khabari?
2.        Apa saja penyimpangan kalam khabari?

C.      Tujuan Masalah
            Diharapkan dengan adanya makalah ini, mahasiswa mengerti dan memahami akan jenis-jenis kalam khabari dan deviasi (penyimpangan) kalam khabari.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Kalam Khabari
Khabar ialah pembicaraan yang mengandung kemungkinan benar atau bohong semata-mata dilihat dari pembicaraannya itu sendiri.[1] Jika seseorang mengucapkan suatu kalimat (kalam) yang mempunyai pengertian yang sempurna, setelah itu kita bisa menilai bahwa kalimat tersebut benar atau salah maka kita bisa menetapkan bahwa kalimat tersebut merupakan kalam khabar. Dikatakan benar jika maknanya sesuai dengan realita, dan dikatakan dusta (kadzb) jika maknanya bertentangan dengan realita. Contoh:
قال الطّالب: لن يحضر الأستاذ أحمد فى المناقشة غدا
Ucapan mahasiswa di atas bisa dikategorikan kalam khabari. Setelah mahasiswa tersebut mengucapkan kalimat itu kita bisa melihat apakah ucapannya benar atau salah. Jika ternyata  ustadz Ahmad keesokan harinya tidak datang dalam perkuliahan, maka ucapan mahasiswa tersebut benar. Sedangkan jika ternyata keesokan harinya ustadz Ahmad datang pada perkuliahan, maka kalimat tersebut tidak benar atau dusta. 
B.       Tujuan Kalam Khabari
Setiap ungkapan yang dituturkan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu. Suatu kalâm  khabari biasanya 26 mempunyai dua tujuan, yaitu fâidah al- khabar dan lâzim al-faidah.
1. Fâidah al-khabar adalah suatu kalâm  khabari yang diucapkan kepada orang yang belum tahu sama sekali isi perkataan itu. Contoh,
كان عمربن عبد العزيز لا يأخذ من بيت المال شيئا ولا يجزى على نفسه من الفيء درهما
Pada kalimat di atas mutakallim ingin memberi tahu kepada mukhâthab bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak pernah mengambil sedikit pun harta dari baitul mal. Mutakallim berpraduga bahwa mukhâthab tidak mengetahui hukum yang ada pada kalimat tersebut.
2. Lâzim al-fâidah adalah suatu kalâm  khabari yang diucapkan kepada orang yang sudah mengetahui isi dari pembicaraan tersebut, dengan tujuan agar orang itu tidak mengira bahwa si pembicara tidak tahu.
ذهبت الى الجامعة متأخرا
Selain kedua tujuan utama dari kalâm  khabari terdapat tujuan-tujuan lainnya yang merupakan pengembangan dari tujuan semula. Tujuan-tujuan tersebut adalah sbb:
1.        Istirhâm (minta dikasihi)
Dari segi bentuknya kalâm  ini berbentuk khabar (berita), akan tetapi dari segi tujuannya mutakallim ingin dikasihi oleh mukhâthab. Contoh kalâm  khabari dengan tujuan istirhâm adalah do'a nabi Musa yang dikutip Alquran, 
2.        Izhhâr al-Dha'fi (memperlihatkan kelemahan) seperti do'a Nabi Zakaria dalam  Alquran.
3.        Izhhâr al-tahassur (memperlihatkan penyesalan) seperti doa Imran bapaknya Maryam yang dihikayatkan dalam Alquran.
4.        Al-Fakhr  (sombong) seperti perkataan Amru bin Kalsum
5.        Dorongan bekerja keras
Dari segi bentuk dan isinya kalâm ini bersifat khabari (pemberitahuan), akan tetapi maksud mutakallim mengucapkan ungkapan tersebut agar mukhâthab bekerja keras. Contoh kalâm  khabari untuk tujuan ini adalah surah Thahir bin Husain kepada Abbas bin Musa al-Hadi yang terlambat membayar upeti.

C.      Jenis-Jenis Kalam  Khabari
Kalam khabari adalah kalimat yang diungkapkan untuk memberiyahu sesuatu atau beberapa hal kepada mukhatab. Untuk efektifitas menyampaikan suatu pesan perlu dipertimbangkan kondisi mukhatab. Ada tiga keadaan mukhatab yang perlu dipertimbangkan dalam mengungkapkan kalam khabari.[2] Keadaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mukhathab yang belum tahu apa-apa (خلى الذهن) 
Mukhthab khalidzdzihni adalah keadaan mukhathab yang belum tahu sedikit pun tentang informasi yang disampaikan. Mukhathab diperkirakan akan menerima dan tidak ragu-ragu tentang informasi yang akan disampaikan. Oleh karena itu tidak diperlukan taukid dalam pengungkapannya. Bentuk kalam  khabari pada model pertama ini dinamakan kalâm  khabari ibtidai. Contoh:
السيارة ساقطة في الوادي
2. Mukhathab ragu-ragu  (متردد الذهن) 
Jika mukhathab diperkirakan ragu-ragu dengan informasi yang akan kita sampaikan maka perlu diperkuat dengan taukid. Keraguan mukhathab bisa disebabkan dia mempunyai informasi lain yang berbeda dengan informasi yang kita sampaikan, atau karena keadaan mutakallim yang kurang meyakinkan. Untuk menghadapi mukhathab jenis ini diperlukan adat taukid seperti „أن – إن – فد – ل ‟. Bentuk kalam ini dinamakan kalâm  khabari thalabi ( خبر طلبي )
Contoh:
إن السيارة ساقطة
3. Mukhathab yang menolak (انكاري)
Kadang juga terjadi mukhathab yang secara terang-terangan menolak informasi yang kita sampaikan. Penolakan tersebut mungkin terjadi karena informasi yang kita sampaikan bertentangan dengan informasi yang dimilikinya serta keinginan dan keyakinannya. Hal ini juga bisa terjadi karena dia tidak mempercayai kepada kita. Untuk itu diperlukan  adat taukid lebih dari satu untuk memperkuat  pernyataannya.  Jenis kalam model ini dinamakan kalam khabari inkari. Contoh:
والله إن السيارة ساقطة
Dari paparan di atas tampak bahwa penggunaan taukid dalam suatu kalam  mempunyai implikasi terhadap makna. Setiap penambahan kata pada suatu kalimat akan mempunyai implikasi terhadap maknanya. Seorang filsuf Yaqub bin Ishaq al-Kindi bertanya kepada Abu Abbas Muhammad bin Yazid al-Mubarrid, ”Saya menemukan sesuatu yang sia-sia dalam ungkapan Arab. Orang-orang berkata: عبد الله قائم، وإن عبد الله قائم، وإن عبد الله القائم Sedangkan makna kalimat-kalimat di atas sama.
Abu al-Abbas al-Mubarrid berkata, “Ketiga kalimat tersebut tidak sama artinya. Kalimat عبد الله قائم   merupakan informasi mengenai berdirinya Abdullah. Kalimat  وإن عبد الله قائم merupakan jawaban dari pertanyaan seseorang. Sedangkan kalimat وإن عبد الله القائم  merupakan jawaban atas keingkaran orang yang menolaknya.
D.      Penyimpangan Kalam Khabari
Seperti telah dijelaskan di muka bentuk-bentuk kalam khabari jika dikaitkan dengan keadaan mukhathab ada tiga jenis, yaitu ibtidai, thalabi, dan inkari. Pada kalam ibtidai tidak memerlukan taukid. Karena kalam  ini diperuntukkan bagi mukhathab yang khali al-dzihni (tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum yang disampaikan). Pada kalam thalabi, mutakallim menambahkan satu huruf taukid untuk menguatkan pernyataannya, sehingga mukhathab yang ragu-ragu bisa menerimanya. Sedangkavn pada kalam  inkari, mutakallim perlu menggunakan dua taukid untuk memperkuat pernyataannya, karena mukhathab yang dihadapinya orang yang menolak pernyataan kita (munkir).
Namun dalam praktek berbahasa keadaan tersebut tidak selamanya demikian. Ketika berbicara dengan mukhathab yang khala al-dzihni kadang digunakan taukid. Atau juga sebaliknya seseorang tidak menggunakan taukid pada saat dibutuhkan, yaitu ketika  ia berbicara dengan seorang yang inkar. Penyimpangan dalam penggunaan kalam khabar ada beberapa macam.
Di antara penggunaan kalam khabari yang menyalahi maksud lahirnya.
1.        Kalam  Thalabi digunakan untuk mukhathab khali al-dzihni, contoh:
وَلاَ  تُخَاطِبْنِى فِى الَّذِي ظَلَمُوْا اِنَّهُمْ مُّغْرَقُوْنَ (هود : ۳۷)
Dan janganlah kau bicarakan kepada-Ku tentang orang-orang zhalim itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (Q.S Hud: 37)
Pada ayat di atas mukhathab-nya adalah nabi Nuh. Ia sebagai khali al-dzihni karena ia pasti menerima apa yang Allah putuskan. Namun di sini Allah menggunakan taukid seolah-olah nabi Nuh ragu.[3] Hal ini dilakukan untuk memperkuat suatu pernyataan. Contoh,
وَمَا أُبْرِئُ نَفْسِى إِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ (يوسف : ۵۳)
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan. (Q.S. Yusuf: 53)
2. Kalam  ibtidai digunakan untuk mukhathab inkari
وَإِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وَّاحِدٌ (البقرة : ۱۶۳)
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa.(Q.S al-Baqarah: 163)
Pada ayat di atas Allah menggunakan kalam  khabari ibtidai yaitu tidak menggunakan taukid, padahal mukhathab-nya adalah orang-orang kafir yang inkar.
Pertimbangan penggunaan kalam  ibtidai untuk mukhathab inkari adalah karena di samping orang-orang kafir itu telah ada bukti yang dapat mendorong mereka untuk beriman. Oleh karena itu keingkaran mereka tidak dijadikan dasar untuk menggunakan ungkapan penegasan dengan taukid.[4]






















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Kalam khabari ialah suatu ungkapan yang mengandung kemungkinan benar atau bohong dilihat dari teksnya itu sendiri, kalam khabari memiliki dua tujuan, yang pertama yait ntk memberi tahu mkhathab  tentang suat informasi tujuan ini dinamakan faidah al-khabar, kedua di ucapkan kepda orang yang sudah tahu dengan tujuan agar orang yang di ajak bicara tidak mengira bahwa ia tidak mengetahuinya.Selain tujuan utama dari kalam khabari dan tujuan-tujuan lainnya dari kalam khabar , yaitu  a) istirham (minta di kasihani): b) izhhar al-dla’fi (memperlihatkan kelemahan) : c) izzhar al-tahassur (memperliahatkan penyesalan): d) al-Fakhr ( sombong); e) dorongan bekerja keras.
            Dan kalam khabar memiliki tiga jenis, yaitu ibtidai,thalabi,dan inkari. Kalam ibtidai adalah suatu kalam  khabari yang tidak menggubnakan taukid, kalam ini di gnakan untk orang yang tidak tahu sama sekali ( khali al-dzihni). Kalam thalabi adalah suatu kalam khabari yang menggunakan suatu taukid, kalam ini di gunakan untuk mukhatab mutaraddid (mukhatab yang ragu). Sedangkan  kalam inkari adalah suatu kalam khabari  yang menggunakan lebih dari satu taukid. Kalam ini di gunakan untuk mukhatab munkir.
            Dalam kenyataan sering terjadi penyimpangan dari kaidah dan aturan umum, sperti ungkapan ibtidai untuk  inkari atau sebaliknya ungkapan inkari di gunakan untuk mukhatab ibtidai.






[1] Dr. Mamat Zaenuddin, M.A. dan Dr. Yayan Nurbayan, M.Ag., Pengantar Ilmu Balaghah, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 95
[2] Ibid., hal 97
[3] Ali AL-Jarim dan Musthafa Usman, Terjemahan Al-Balaaghatul Waadhihah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), hal. 228
[4] Ibid.

1 komentar: